
Sejak
ikut Anin, dunia baru Mila sangat menyenangkan. Ia berbagi tugas dengan Anin
mengelola bekas garasi yang telah disulap menjadi taman baca sekaligus tempat belajar.
Rumah Belajar Ceria, begitu mereka menyebutnya. Sepulang sekolah beberapa
anak-anak SD dan SMP berkumpul di sana untuk belajar dan bermain bersama. Hari
Minggu bahkan tetap dipenuhi anak-anak. Mila senang bisa mengajar mereka mengaji.
Di beberapa kesempatan kedua sahabat tersebut mendongeng, bermain games tradisional, membantu mengajarkan
PR dari sekolah, dan mengajar bahasa Inggris. Ya, begitulah kegiatan
sehari-hari Mila dan Anin.
Mila
juga menitipkan keripik pisang berbagai varian rasa buatan kakaknya di warung,
toko, dan minimarket terdekat untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Meski uang
yang diperoleh tak seberapa, namun oa bahagia bisa mengisi waktu dengan hal-hal
positif dan produktif. Uang yang didapat sebagian besar dipergunakan untuk
menambah buku-buku dan membenahi rumah belajar yang mereka dirikan. Terlepas
dari itu, Anin memang harus bekerja keras untuk biaya perawatan dan obat
ayahnya. Sementara, Mila mempersiapkan bekal untuk kuliah dan membantu orang
tua pula. Merasa merepotkan sahabatnya, Mila tak kalah giat bekerja agar
sebagian penghasilannya dapat diberikan ke Bu Nunik, ibunya Anin yang ia anggap
seperti ibunya sendiri.
Melihat
keceriaan anak-anak membuat Mila saban hari lupa akan tujuan utamanya. Beruntungnya
ia mempunyai sahabat dan keluarga yang tak lelah mengingatkan. Di sela-sela
waktu senggang, Mila belajar latihan soal-soal ujian seleksi yang ia dapat dari
kakak kelas dan internet. Tak terasa dua minggu telah dilaluinya berkutat
dengan seabrek aktivitas mengelola rumah belajar dan mempelajari soal-soal tes
seleksi. Kesuksesan masa depan memang belum tampak, tapi ia yakin pada
keikhlasan dan kesungguhan yang diwujudkan dalam kerja keras. Sungguh hari-hari
yang melelahkan justru mengukir senyuman di wajahnya dan sahabatnya tersebut.
“Lomba
mendongeng, Rabu, 18 Mei 2016, SD Az-Zahra Palembang. Kita punya waktu kurang
lebih dua minggu lagi untuk melatih mereka yang ingin ikut.” Anin menutup
selebaran di tangannya.
“Hmm,
sehari sebelum tes seleksi.” Mila menjawab singkat.
“Wah,
hampir saja saya lupa. Kamu sebaiknya fokus ke ujian seleksi beasiswa, Mil.
Sudah, tak usah pusingkan masalah persiapan lomba. Eh, tunggu dulu. Menurutmu, Syifa
atau Raya yang ikut lomba?”
“Keduanya
bersedia ikut? Mengapa tidak semuanya saja?”
“Repot,
Mil. Tidak mudah melatih satu anak supaya tampil maksimal.”
“Aku
Syifa, Kamu Raya, deal? Mulai besok
kita latihan.”
“Mil....”
“Janji
deh, aku belajarnya pagi atau malam.”
Mila
merangkul sahabatnya tersebut. Sahabat yang telah banyak berjasa kepadanya.
Sahabat yang telah mengajarkannya banyak hal. Sahabat yang telah membawanya ke
dunia baru yang penuh tantangan. Kini mereka berdua berjuang bersama, mengemban
tugas sederhana nan bermakna menuju cita-cita diri dan anak bangsa.
Suasana
Rumah Belajar Ceria tak berbeda dari biasanya. Diramaikan oleh anak-anak yang
sekedar ingin membaca buku atau mengikuti kegiatan belajar mengaji dan bahasa
Inggris. Hanya saja kini Mila dan Anin disibukkan pula dengan melatih dua anak
yang akan mengikuti perlombaan mendongeng cerita islami. Tak semudah yang
dibayangkan terlebih bagi dua remaja beranjak dewasa yang baru tamat sekolah
seperti mereka.
Dua
sahabat tersebut mengerahkan tenaga, waktu, dan pikiran mengajar peserta didik
mereka khususnya yang akan mengikuti lomba. Mila pernah menjuarai lomba
mendongeng sewaktu duduk di bangku MTs, jadi ia tak segan membagikan
pengetahuan dan pengalaman agar Syifa dan Raya mendapatkan kemenangan yang serupa.
Kendatipun demikian, di sela-sela latihan Mila selalu menanamkan bahwasanya
kemenangan hanya sebuah bonus. Yang terpenting berusaha melakukan yang terbaik
dan menggunakan potensi diri sebaik-baiknya.
***
Apa
hendak dikata, empat hari sebelum perlombaan, Anin mendapati bapaknya dalam
keadaan terbaring lemah. Beliau harus dibawa ke rumah sakit lagi. Kondisi
tubuhnya semakin memburuk. Tak bernafsu makan, tak menyahut saat diajak
berbicara, tak banyak bergerak. Sungguh ini di luar dugaan. Padahal, dua minggu
yang lalu beliau sudah cukup membaik. Alhasil, keberangkatan ke Palembang mesti
dipertimbangkan. Anin tak mungkin meninggalkan bapaknya bersama ibu dan adik
yang masih kecil begitu saja. Sepanjang
hari ia menangis saja. Tak putus ia berdoa agar bapak kembali sehat seperti
sedia kala.
Mila
turut merasa pilu melihat kesedihan Anin. Seakan memburam penglihatannya. Akhirnya
ia putuskan saja untuk berangkat tanpa sahabatnya. Mendampingi adik-adik yang
akan mengikuti lomba sekaligus mengikuti ujian seleksi beasiswa kuliah di Kairo.
Dua impian yang tengah ia perjuangkan sudah di depan mata.
Wajah
ceria dan semangat berkobar ia pamerkan di hadapan sahabatnya walau pikiran
berkecamuk dan hati bergejolak. Bagaimanapun, tak ada pilihan baginya kecuali
hadapi. Kereta telah tiba, koper telah diangkut, ucapan pamit telah tersampaikan,
bahu siap disandarkan di kursi kereta. Setibanya di tempat penginapan yang
disediakan oleh peserta lomba dan pendamping, mereka bertiga langsung istirahat.
Dikalahkan oleh lelah di H-1 perlombaan.
Pagi-pagi
sekali mereka siap melangkah menuju SD Az-Zahra. Satu per satu peserta tampil
mendongeng cerita islami hingga tiba gilirannya Syifa dan Raya. Penampilan
mereka sangat membanggakan. Mila tak berhenti menyemangati dari kejauhan
meskipun pikirannya menerawang jauh ke ujian seleksi beasiswa kuliah di Kairo
besok. Ia bahkan tak sempat mengulang latihan soal-soal empat hari belakangan.
Hari
yang dinanti-nanti tiba. Bertepatan dengan ujian seleksi tulis dan lisan hari
ini adalah pengumuman perlombaan mendongeng kemarin. Ia tinggalkan Syifa dan
Raya mendengarkan pengumuman sementara ia mengikuti tes seleksi. Jauhnya jarak
antara tempat penginapan dan lokasi tes tak menyurutkan langkah Mila untuk
menggapai impian. Dalam lari-lari kecilnya, ia tak henti berdoa. Teringat wajah
ayah, ibu, Kak Farid, Harun, Haris, Anin sekeluarga, dan muridnya di Rumah
Belajar Ceria yang semakin mengobarkan semangatnya.
Beberapa
menit sebelum tes tertulis dimulai, tubuh Mila seketika melemas. Tak ia temukan
kacamata di dalam tas. Tak mengenakan kacamata selalu jadi momok terbesar
baginya. Lupa ia mengambilnya dari meja dekat tempat tidur semalam. Hatinya tak
tenang. Ia tahu rabun mata minus 3 tak dipermasalahkan dalam persyaratan.
Namun, tanpa kacamata hitam kesayangan yang telah menemaninya 3 tahun ini,
apakah ia mampu menjawab soal-soal dengan baik?
Ujian
tulis yang berlangsung selama dua jam terasa beberapa menit saja. Mila pasrah.
Ia tahu ia tidak mengerjakannya dengan maksimal. Dengan langkah gontai, ia
keluar dari ruang ujian mengarah ke kantin menunggu daftar nama-nama yang
lanjut ke tahap ujian lisan hari itu juga. “Mengapa bisa sampai lupa bawa
kacamata? Apa saya tadi pagi terlalu antusias? Bukankah saya tadi masih bisa
membaca soal-soal? Gagal pasal kacamata? Rasanya tidak masuk akal.” sesalnya.
Setengah
jam menunggu, dua gelas air mineral telah diteguknya. Ia berlari kecil menuju
kerumunan. Tak terbaca jelas tulisan di papan pengumuman. Peserta lain yang
telah selesai mulai berbalik badan karena saatnya bergantian melihat
pengumuman. Ada yang bersorak syukur, ada pula yang tertunduk lesu.
Tak
ada ‘Kamila Ananda’ di antara nama peserta yang dinyatakan lolos ke tahap ujian
lisan. Mila melihatnya sekali lagi sembari menyusuri barisan nama-nama
menggunakan telunjuk tangan kanan. Tetap tak ditemukan. Bahunya semakin
terbungkuk. Segera ia berbalik dari papan pengumuman meninggalkan kegagalan
terbesar pertama di hidupnya. Dua anak
kecil tersenyum manis di hadapannya, Syifa dan Raya. Sejak kapan mereka
ada di sana? Siapa yang mengantarnya sejauh ini dari tempat penginapan? Syifa
membawakan sebuah kotak di tangannya. Kotak berisikan kacamata tak berguna yang
Mila sebut sebagai penyebab kegagalannya. Di samping Syifa, Raya berdiri tegak membawa
sebuah piala. Ia berhasil mendapatkan juara 2 pada lomba mendongeng tingkat
anak SD. Mila memeluk erat kedua anak tersebut.
Kegagalan
di suatu sisi justru membawa kemenangan di sisi lainnya. Mereka bertiga pulang
dengan senyum membanggakan. Mila berjanji pada dirinya sendiri akan mengabdi
pada Rumah Belajar Ceria yanga ia rintis bersama sahabatnya. Tahun depan ia
akan mencoba kembali seleksi kuliah di Kairo. Jika ini memang bukan rezeki
untuknya, semoga tabungannya sudah cukup, ia akan mendaftar kuliah Sabtu Minggu
di Palembang agar tak mengganggu aktivitas mengajar. Perjuangan meraih mimpi
belum usai baginya.
***
0 comments:
Post a Comment