Friday 11 May 2018

Kacamata Mila (1)


Image result for eyes quote

Mila menatap secarik kertas memo merah muda bertuliskan ‘Al-Azhar University, Cairo’ yang melekat di dinding dekat tempat tidurnya. Bak mengeja huruf demi hurufnya, tak berkedip barang satu detik, Mila menuangkan lelahnya dalam lamunan, menatap jauh angan-angan. Ruangan riuh berisikan sepuluh pasang mata tak menjadi halangan. Saat teman-teman sekamar tengah sibuk mempersiapkan ujian, akhir-akhir ini, Mila justru kerap merenung. Pikirannya bukan tertuju pada butir-butir soal yang akan dikerjakan kelak, melainkan langkah yang harus diambil di depan.

“Ehm, ini kacamatamu.”.

“Oh, ya.”

“Kamu harus mengejanya dengan jelas. Huruf-huruf yang tertulis di kertas itu ibarat segala hal yang dibutuhkan untuk menggapai impianmu. Tak hanya persyaratan-persyaratan masuk ke sana, tetapi juga dukungan orang lain serta tak lupa kekuatan ikhtiar dan doamu.”

Ah, Anin memang satu-satunya teman sekamar yang pandai mengartikan diam Mila. Seperti nama musisi, payung teduh, begitu Mila menjulukinya. Wajah anggun dan tubuh jangkung Anin seakan melengkapi posisinya sebagai kakak perempuan bagi Mila.

“Ayah ibumu mengizinkan?” sambung Anin. Tak ia biarkan Mila hanyut dalam lamunan.

“Mereka pasti bangga kalau saya berhasil masuk melalui jalur beasiswa.”

“Selain berdoa untuk itu, teruslah doakan kesehatan ayah ibumu. Agar kelak tak perlu kamu risaukan apakah masa depanmu atau masa tua mereka yang harus diprioritaskan.”

Anin melempar senyum simpul lalu melarikan pandangannya ke buku PKN di tangannya. Mila tertegun mendengar ucapan sahabatnya tersebut. Ia tahu betul selama ini sahabatnya tersebut selalu dilanda perasaan ingin cepat pulang. Bapaknya tengah terhunus peralatan infus.

“Apa sebaiknya saya mengikuti jejak Anin? Tamat sekolah ini bekerja, mengajar anak-anak tetangga atau membantu orang tua dan saudara.” gumam Mila. Terbayang di benak rambut ayah yang kini bersulam uban. Belum lagi tatapan penuh harap ibu yang mengurus rumah. Giatnya Kak Farid menjalankan industri keripik rumahan. Keceriaan Harun dan Haris, adik kembarnya yang masih di jenjang awal sekolah.

Pikirannya berkecamuk. Buku pelajaran digenggamnya saja. Sekejap mata tersadar bahwa ia sebaiknya fokus dengan apa yang sedang dihadapinya. Ujian akhir sekolah. Ya, ujian. “Mana mungkin hanya memikirkan tanaman yang jauh sementara ada di depan mata yang harus dipupuk dan dijaga?” pikirnya.

***

Detik-detik menjelang ujian tak disia-siakan. Mila dan Anin berkutat dengan lembaran demi lembaran buku pelajaran. Kali ini tentunya lebih intensif. Entah pergi kemana perginya bayang-bayang kuliah di Kairo. Anin tak lagi mendapati Mila termangu dan berkeluh tentang angannya yang belum tampak tersebut. Bagaimanapun, Mila tetap menyimpannya baik-baik dalam doa. Hanya saja ia tak ingin berlebihan dalam mengumbar impian, terutama pada sahabatnya. Bukankah sahabat yang sedang dirundung kesedihan saat orang tua sakit menopang beban lebih berat daripada dirinya yang tengah dihantui mimpi besar?

Ujian hari pertama hingga terakhir dilalui tanpa hambatan. Senyum senang dan tawa lepas terpancar dari santri putra dan putri. Sholat zuhur dan ashar berjamaah dilaksanakan seperti biasa. Sujud syukur terasa khidmat dan doa agar lulus 100% pun terpanjatkan. Beberapa santri terlihat menuju telepon umum untuk melepas rindu dengan keluarga tercinta. Begitupun Mila dan Anin.

“Setengah jam lagi kita bertemu di sini ya!” pesan Mila sambil melangkah perlahan menjauhi Anin. Tak sabar ia ingin mendengar suara ayah, ibu, Kak Farid, serta si kembar dan bercerita tentang rencananya mengikuti seleksi beasiswa kuliah di Kairo. Diraihnya gagang telepon. Dibetulkannya kacamata sembari menatap kertas kopelan dimana tertera nomor telepon rumah. Digit angka ditekan satu per satu. Suara kakak menyambut dengan lembut.

Sepatah dua patah kalimat terucap. Sayangnya, ayah, ibu, dan adik tak di rumah sejak satu jam yang lalu. Melayat istri teman ayah di desa sebelah yang pagi tadi meninggal karena kecelakaan. Situasi ini kurang memungkinkan bagi Mila. Tak ada ayah ibu. Ia takut bercerita langsung kepada Kak Farid perihal kesungguhannya untuk mendaftar beasiswa kuliah di Al-Azhar. Bagaimana tidak, sekejap ia teringat saat-saat kelulusan MTs dulu. Kak Farid mulanya bersikeras ingin adik perempuan satu-satunya itu masuk ke SMA di dekat rumah saja agar tak luput dari pandangannya dan kedua orang tua. Di samping itu, ia berharap Mila bisa sambilan membantunya membuat dan menjual keripik. Saran dari ayah dan kemauan dari Mila sendiri untuk mondok tentu tak dapat ia bantah.  

“Pasti keripik Kakak makin enak deh. Kresss.. Kangen!”

“Keripiknya? Huu dasar kamu.”

“Ehmmm. Kak, kira-kira mereka masih lama tidak ya?”

“Kamu mau cerita ke ibu tentang rencana ke Kairo itu? Sudah tahu semua syarat dan pendaftarannya?”

Deg.. Mila semakin kalut mendengar pertanyaan beruntun kakaknya.

“I, iya. Masih menunggu pengumuman kelulusan dan ijazah, Kak.”

“Kamu ingat tidak waktu itu teman Kakak SMA, Amir, datang ke rumah kita?”

“Yang mau bawa keripik-keripik Kakak ke Jawa?”

“Ya, sekarang beliau sudah punya brand keripik sendiri yang cukup terkenal. Bahkan sudah tersebar di sini. Kesalahan kakak waktu itu tidak mau ambil peluang emas berbungkus risiko hanya karena sesuatu itu tidak bisa kakak awasi langsung. Dan kakak sekarang tidak mau itu terjadi lagi padamu yang sedang menata masa depanmu. Berjuanglah, Mil!”

“Kak Farid...”

“Sudah sore. Kita sambung lain kali ya.”

“Kak... Terima kasih ya. Assalamu’alaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Kekhawatiran Mila berubah menjadi keharuan. Ia merasa lega. Izin dan dukungan kakak sudah dikantonginya. Kacamatanya yang berdebu seakan tak menghalangi pancaran matanya melihat ke depan. Ia terus melangkah ke luar dengan riang. Sendunya senja kala itu justru baginya terang benderang. Dihampirinya Anin yang sudah menunggu sedari tadi. Nanti malam ia akan ceritakan semua pada sahabatnya tersebut. Ia pun tak sabar ingin dengar sahabatnya bercerita tentang keadaan bapaknya.

15 & 19 Mei. 

Mila ingat betul tanggal penutupan pendaftaran online dan pelaksanaan ujian seleksi beasiswa tersebut di luar kepala. Dilipatnya jari-jari tangan kanan perlahan menghitung berapa lama lagi waktu tersisa. 6 minggu takkan ia sia-siakan begitu saja. Sembari menunggu dan mempersiapkan semua persyaratan, Mila bersedia turut Anin untuk bantu-bantu mengajar di desa tempat keluarga Anin tinggal, Martapura. Kurang lebih 1 jam dari Baturaja, lokasi rumah orang tua Mila. 

***

0 comments:

Post a Comment