Mila
menatap secarik kertas memo merah muda bertuliskan ‘Al-Azhar University, Cairo’
yang melekat di dinding dekat tempat tidurnya. Bak mengeja huruf demi hurufnya,
tak berkedip barang satu detik, Mila menuangkan lelahnya dalam lamunan, menatap
jauh angan-angan. Ruangan riuh berisikan sepuluh pasang mata tak menjadi
halangan. Saat teman-teman sekamar tengah sibuk mempersiapkan ujian, akhir-akhir
ini, Mila justru kerap merenung. Pikirannya bukan tertuju pada butir-butir soal
yang akan dikerjakan kelak, melainkan langkah yang harus diambil di depan.
“Ehm,
ini kacamatamu.”.
“Oh,
ya.”
“Kamu
harus mengejanya dengan jelas. Huruf-huruf yang tertulis di kertas itu ibarat segala
hal yang dibutuhkan untuk menggapai impianmu. Tak hanya persyaratan-persyaratan
masuk ke sana, tetapi juga dukungan orang lain serta tak lupa kekuatan ikhtiar
dan doamu.”
Ah,
Anin memang satu-satunya teman sekamar yang pandai mengartikan diam Mila. Seperti
nama musisi, payung teduh, begitu Mila menjulukinya. Wajah anggun dan tubuh
jangkung Anin seakan melengkapi posisinya sebagai kakak perempuan bagi Mila.
“Ayah
ibumu mengizinkan?” sambung Anin. Tak ia biarkan Mila hanyut dalam lamunan.
“Mereka
pasti bangga kalau saya berhasil masuk melalui jalur beasiswa.”
“Selain
berdoa untuk itu, teruslah doakan kesehatan ayah ibumu. Agar kelak tak perlu
kamu risaukan apakah masa depanmu atau masa tua mereka yang harus diprioritaskan.”
Anin
melempar senyum simpul lalu melarikan pandangannya ke buku PKN di tangannya. Mila
tertegun mendengar ucapan sahabatnya tersebut. Ia tahu betul selama ini sahabatnya
tersebut selalu dilanda perasaan ingin cepat pulang. Bapaknya tengah terhunus
peralatan infus.
“Apa
sebaiknya saya mengikuti jejak Anin? Tamat sekolah ini bekerja, mengajar anak-anak
tetangga atau membantu orang tua dan saudara.” gumam Mila. Terbayang di benak rambut
ayah yang kini bersulam uban. Belum lagi tatapan penuh harap ibu yang mengurus
rumah. Giatnya Kak Farid menjalankan industri keripik rumahan. Keceriaan Harun
dan Haris, adik kembarnya yang masih di jenjang awal sekolah.
Pikirannya
berkecamuk. Buku pelajaran digenggamnya saja. Sekejap mata tersadar bahwa ia sebaiknya
fokus dengan apa yang sedang dihadapinya. Ujian akhir sekolah. Ya, ujian. “Mana
mungkin hanya memikirkan tanaman yang jauh sementara ada di depan mata yang
harus dipupuk dan dijaga?” pikirnya.
***
Detik-detik
menjelang ujian tak disia-siakan. Mila dan Anin berkutat dengan lembaran demi
lembaran buku pelajaran. Kali ini tentunya lebih intensif. Entah pergi kemana
perginya bayang-bayang kuliah di Kairo. Anin tak lagi mendapati Mila termangu
dan berkeluh tentang angannya yang belum tampak tersebut. Bagaimanapun, Mila tetap
menyimpannya baik-baik dalam doa. Hanya saja ia tak ingin berlebihan dalam
mengumbar impian, terutama pada sahabatnya. Bukankah sahabat yang sedang dirundung
kesedihan saat orang tua sakit menopang beban lebih berat daripada dirinya yang
tengah dihantui mimpi besar?
Ujian
hari pertama hingga terakhir dilalui tanpa hambatan. Senyum senang dan tawa
lepas terpancar dari santri putra dan putri. Sholat zuhur dan ashar berjamaah
dilaksanakan seperti biasa. Sujud syukur terasa khidmat dan doa agar lulus 100%
pun terpanjatkan. Beberapa santri terlihat menuju telepon umum untuk melepas
rindu dengan keluarga tercinta. Begitupun Mila dan Anin.
“Setengah
jam lagi kita bertemu di sini ya!” pesan Mila sambil melangkah perlahan menjauhi
Anin. Tak sabar ia ingin mendengar suara ayah, ibu, Kak Farid, serta si kembar dan
bercerita tentang rencananya mengikuti seleksi beasiswa kuliah di Kairo. Diraihnya
gagang telepon. Dibetulkannya kacamata sembari menatap kertas kopelan dimana
tertera nomor telepon rumah. Digit angka ditekan satu per satu. Suara kakak
menyambut dengan lembut.
Sepatah
dua patah kalimat terucap. Sayangnya, ayah, ibu, dan adik tak di rumah sejak
satu jam yang lalu. Melayat istri teman ayah di desa sebelah yang pagi tadi meninggal
karena kecelakaan. Situasi ini kurang memungkinkan bagi Mila. Tak ada ayah ibu.
Ia takut bercerita langsung kepada Kak Farid perihal kesungguhannya untuk mendaftar
beasiswa kuliah di Al-Azhar. Bagaimana tidak, sekejap ia teringat saat-saat kelulusan
MTs dulu. Kak Farid mulanya bersikeras ingin adik perempuan satu-satunya itu
masuk ke SMA di dekat rumah saja agar tak luput dari pandangannya dan kedua
orang tua. Di samping itu, ia berharap Mila bisa sambilan membantunya membuat
dan menjual keripik. Saran dari ayah dan kemauan dari Mila sendiri untuk mondok
tentu tak dapat ia bantah.
“Pasti
keripik Kakak makin enak deh. Kresss.. Kangen!”
“Keripiknya?
Huu dasar kamu.”
“Ehmmm.
Kak, kira-kira mereka masih lama tidak ya?”
“Kamu
mau cerita ke ibu tentang rencana ke Kairo itu? Sudah tahu semua syarat dan
pendaftarannya?”
Deg..
Mila semakin kalut mendengar pertanyaan beruntun kakaknya.
“I,
iya. Masih menunggu pengumuman kelulusan dan ijazah, Kak.”
“Kamu
ingat tidak waktu itu teman Kakak SMA, Amir, datang ke rumah kita?”
“Yang
mau bawa keripik-keripik Kakak ke Jawa?”
“Ya,
sekarang beliau sudah punya brand keripik
sendiri yang cukup terkenal. Bahkan sudah tersebar di sini. Kesalahan kakak
waktu itu tidak mau ambil peluang emas berbungkus risiko hanya karena sesuatu itu
tidak bisa kakak awasi langsung. Dan kakak sekarang tidak mau itu terjadi lagi
padamu yang sedang menata masa depanmu. Berjuanglah, Mil!”
“Kak
Farid...”
“Sudah
sore. Kita sambung lain kali ya.”
“Kak...
Terima kasih ya. Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Kekhawatiran
Mila berubah menjadi keharuan. Ia merasa lega. Izin dan dukungan kakak sudah dikantonginya. Kacamatanya yang berdebu seakan tak menghalangi pancaran matanya
melihat ke depan. Ia terus melangkah ke luar dengan riang. Sendunya senja kala
itu justru baginya terang benderang. Dihampirinya Anin yang sudah menunggu
sedari tadi. Nanti malam ia akan ceritakan semua pada sahabatnya tersebut. Ia
pun tak sabar ingin dengar sahabatnya bercerita tentang keadaan bapaknya.
15
& 19 Mei.
Mila ingat betul tanggal penutupan pendaftaran online dan
pelaksanaan ujian seleksi beasiswa tersebut di luar kepala. Dilipatnya
jari-jari tangan kanan perlahan menghitung berapa lama lagi waktu tersisa. 6
minggu takkan ia sia-siakan begitu saja. Sembari menunggu dan mempersiapkan
semua persyaratan, Mila bersedia turut Anin untuk bantu-bantu mengajar di desa
tempat keluarga Anin tinggal, Martapura. Kurang lebih 1 jam dari Baturaja,
lokasi rumah orang tua Mila.
***
0 comments:
Post a Comment