Sunday 4 July 2021

Mengenal Midah Si Manis Bergigi Emas

Karya sastra milik Pramoedya Ananta Toer yang satu ini dibaca dan dibuat ringkasannya di Lenovo tua empat tahun silam, tapi keputusan untuk mem-posting tulisan ini baru muncul hari ini, 3 Juli 2021, akibat menghabiskan waktu berjam-jam menyortir dokumen di laptop, so here we go, ringkasan Midah Si Manis Bergigi Emas

Novel ini mengisahkan tentang kehidupan sesosok wanita bernama Midah. Ia berasal dari keluarga menengah yang berpendidikan dan taat beragama. Masa kecil Midah mendapat perhatian penuh dari kedua orang tua, tetapi semua berubah semenjak kehadiran adik-adiknya. Kebahagiaan tak didapatnya lagi di rumah. Ayah sibuk mengurus dagangannya di Cibatok dan ibu memperhatikan adik-adiknya saja. 

Ia mencoba mencari kebahagiaan di luar rumah yang akhirnya ia temukan pada musik keroncong. Midah mulai mencari piringan hitam nyanyian keroncong. Suatu ketika, saat ia sedang memainkan piringan hitam di rumah, sang ayah, Haji Abdul, baru saja tiba langsung naik pitam mendengarkan musik keroncong tersebut dan menganggapnya haram. Dipecahkannya semua piringan-piringan hitam milik Midah. Lebih dari itu, tamparan melayang ke pipi Midah dan hatinya tercabik-cabik melihat perlakuan ayahnya yang melarang dan membenci kesukaannya.

Beranjak dewasa, Midah dinikahkan dengan Haji Terbus oleh ayahnya. Haji Terbus adalah teman sang ayah yang berasal dari kalangan berpendidikan dam taat beragama. Hingga suatu hari, Midah mengetahui bahwa Haji Terbus mempunyai banyak istri, ia diam-diam kabur dari Cibatok ke Jakarta dalam keadaan hamil. Midah mengunjungi Riah, wanita tua yang pernah bekerja dengan orangtuanya. Riah bersedia menampung Midah dan menawarkan diri untuk mengantarkannya kembali ke orang tua, tetapi Midah menolak. Ia pamit dari rumah Riah untuk mencari sekumpulan penyanyi keroncong jalanan dan bergabung dengan mereka. Bermodalkan suara merdu dan wajah manis, Midah yang tengah hamil menyusuri jalan dari restoran ke restoran bersama kelompok pengamen. 

Beberapa lama kemudian, Midah harus berhenti sejenak dari hingar bingar kehidupan pengamen keroncong untuk persiapan melahirkan anak pertamanya. Ia melahirkan di sebuah rumah sakit tapi mendapat perlakuan tidak baik oleh bidan. Dimulai dari alasan kamar penuh hingga kesinisan bidan saat menanyakan soal suami Midah. Hingga akhirnya Midah harus meninggalkan rumah sakit segera dan menanggalkan pakaian yang dikenakan bayinya karena itu semua milik rumah sakit. 

Setelah anaknya lahir, Midah kembali mengamen meskipun dapat tentangan dari kawan sekelompoknya yang tidak senang dengan kehadiran anak lelaki Midah. Di suatu waktu, Midah bertemu Ahmad, seorang polisi yang periang, peduli, dan penyuka musik keroncong, sepertinya. Midah semakin terhanyut dalam kebersamaannya dengan Ahmad, berlatih bersama-sama menyanyi keroncong hingga ia menjadi penyanyi radio. Seiring berjalannya waktu, Midah hamil anak kedua. Ahmad tidak mau bertanggung jawab dan malah menuduh Midah menjebaknya agar mau mengawininya.

Perasaan Midah tak karuan mulai dari ketakutan kembali ke pangkuan orang tua, penyesalan telah menodai tempat ia menginap sampai diusir, hingga cintanya kepada Ahmad. Hingga akhirnya ia memutuskan kembali ke rumah orangtuanya di Cibatok. Orang tuanya yang telah mencari-carinya kemanapun tetap memaafkan dan menerima Midah kendatipun ia telah hamil lagi. Djali, anak Midah dengan Haji Terbus, dirawat dengan baik oleh sang nenek. Tidak mau mengotori nama baik keluarganya, Midah pergi dari rumah meninggalkan Djali dalam keadaan hamil kedua. 

Midah menghadapi pelik kisah hidupnya dengan tegar meskipun harus semakin tenggelam dalam dunia yang kelam.

Thursday 27 June 2019

181018


I bet some people out there would most likely consider 181018 to be a wedding date if it's on Sunday, right? However, I felt ultra heartbroken on that day.

My dad...
He's gone. I couldn't see him on his chair and bed. I couldn't make him a cup of coffee. I couldn't.. I just couldn't do anything for him anymore.

I know this day will come, sure, but I never expected it to come this fast.
He looked happy when we were going to the hospital for checkup. He still had his breakfast the day before his long sleep.

I was lost for words. I haven't told him how much I love him when he's sick. I didn't try hard enough to make him happy. The only thing that brought peace of mind was the fact that he no longer had to suffer in this cruel world.

Dad, I pray the best for you. Still, I do my best for you. I hope you see me from up above.


With love,

Your little daughter.

Friday 11 May 2018

Kacamata Mila (2)

Image result for glasses quote


Sejak ikut Anin, dunia baru Mila sangat menyenangkan. Ia berbagi tugas dengan Anin mengelola bekas garasi yang telah disulap menjadi taman baca sekaligus tempat belajar. Rumah Belajar Ceria, begitu mereka menyebutnya. Sepulang sekolah beberapa anak-anak SD dan SMP berkumpul di sana untuk belajar dan bermain bersama. Hari Minggu bahkan tetap dipenuhi anak-anak. Mila senang bisa mengajar mereka mengaji. Di beberapa kesempatan kedua sahabat tersebut mendongeng, bermain games tradisional, membantu mengajarkan PR dari sekolah, dan mengajar bahasa Inggris. Ya, begitulah kegiatan sehari-hari Mila dan Anin.

Mila juga menitipkan keripik pisang berbagai varian rasa buatan kakaknya di warung, toko, dan minimarket terdekat untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Meski uang yang diperoleh tak seberapa, namun oa bahagia bisa mengisi waktu dengan hal-hal positif dan produktif. Uang yang didapat sebagian besar dipergunakan untuk menambah buku-buku dan membenahi rumah belajar yang mereka dirikan. Terlepas dari itu, Anin memang harus bekerja keras untuk biaya perawatan dan obat ayahnya. Sementara, Mila mempersiapkan bekal untuk kuliah dan membantu orang tua pula. Merasa merepotkan sahabatnya, Mila tak kalah giat bekerja agar sebagian penghasilannya dapat diberikan ke Bu Nunik, ibunya Anin yang ia anggap seperti ibunya sendiri.

Melihat keceriaan anak-anak membuat Mila saban hari lupa akan tujuan utamanya. Beruntungnya ia mempunyai sahabat dan keluarga yang tak lelah mengingatkan. Di sela-sela waktu senggang, Mila belajar latihan soal-soal ujian seleksi yang ia dapat dari kakak kelas dan internet. Tak terasa dua minggu telah dilaluinya berkutat dengan seabrek aktivitas mengelola rumah belajar dan mempelajari soal-soal tes seleksi. Kesuksesan masa depan memang belum tampak, tapi ia yakin pada keikhlasan dan kesungguhan yang diwujudkan dalam kerja keras. Sungguh hari-hari yang melelahkan justru mengukir senyuman di wajahnya dan sahabatnya tersebut.

“Lomba mendongeng, Rabu, 18 Mei 2016, SD Az-Zahra Palembang. Kita punya waktu kurang lebih dua minggu lagi untuk melatih mereka yang ingin ikut.” Anin menutup selebaran di tangannya.

“Hmm, sehari sebelum tes seleksi.” Mila menjawab singkat.

“Wah, hampir saja saya lupa. Kamu sebaiknya fokus ke ujian seleksi beasiswa, Mil. Sudah, tak usah pusingkan masalah persiapan lomba. Eh, tunggu dulu. Menurutmu, Syifa atau Raya yang ikut lomba?”
“Keduanya bersedia ikut? Mengapa tidak semuanya saja?”

“Repot, Mil. Tidak mudah melatih satu anak supaya tampil maksimal.”

“Aku Syifa, Kamu Raya, deal? Mulai besok kita latihan.”

“Mil....”

“Janji deh, aku belajarnya pagi atau malam.”

Mila merangkul sahabatnya tersebut. Sahabat yang telah banyak berjasa kepadanya. Sahabat yang telah mengajarkannya banyak hal. Sahabat yang telah membawanya ke dunia baru yang penuh tantangan. Kini mereka berdua berjuang bersama, mengemban tugas sederhana nan bermakna menuju cita-cita diri dan anak bangsa.

Suasana Rumah Belajar Ceria tak berbeda dari biasanya. Diramaikan oleh anak-anak yang sekedar ingin membaca buku atau mengikuti kegiatan belajar mengaji dan bahasa Inggris. Hanya saja kini Mila dan Anin disibukkan pula dengan melatih dua anak yang akan mengikuti perlombaan mendongeng cerita islami. Tak semudah yang dibayangkan terlebih bagi dua remaja beranjak dewasa yang baru tamat sekolah seperti mereka.

Dua sahabat tersebut mengerahkan tenaga, waktu, dan pikiran mengajar peserta didik mereka khususnya yang akan mengikuti lomba. Mila pernah menjuarai lomba mendongeng sewaktu duduk di bangku MTs, jadi ia tak segan membagikan pengetahuan dan pengalaman agar Syifa dan Raya mendapatkan kemenangan yang serupa. Kendatipun demikian, di sela-sela latihan Mila selalu menanamkan bahwasanya kemenangan hanya sebuah bonus. Yang terpenting berusaha melakukan yang terbaik dan menggunakan potensi diri sebaik-baiknya.

***

Apa hendak dikata, empat hari sebelum perlombaan, Anin mendapati bapaknya dalam keadaan terbaring lemah. Beliau harus dibawa ke rumah sakit lagi. Kondisi tubuhnya semakin memburuk. Tak bernafsu makan, tak menyahut saat diajak berbicara, tak banyak bergerak. Sungguh ini di luar dugaan. Padahal, dua minggu yang lalu beliau sudah cukup membaik. Alhasil, keberangkatan ke Palembang mesti dipertimbangkan. Anin tak mungkin meninggalkan bapaknya bersama ibu dan adik yang masih kecil begitu saja.  Sepanjang hari ia menangis saja. Tak putus ia berdoa agar bapak kembali sehat seperti sedia kala.

Mila turut merasa pilu melihat kesedihan Anin. Seakan memburam penglihatannya.   Akhirnya ia putuskan saja untuk berangkat tanpa sahabatnya. Mendampingi adik-adik yang akan mengikuti lomba sekaligus mengikuti ujian seleksi beasiswa kuliah di Kairo. Dua impian yang tengah ia perjuangkan sudah di depan mata.

Wajah ceria dan semangat berkobar ia pamerkan di hadapan sahabatnya walau pikiran berkecamuk dan hati bergejolak. Bagaimanapun, tak ada pilihan baginya kecuali hadapi. Kereta telah tiba, koper telah diangkut, ucapan pamit telah tersampaikan, bahu siap disandarkan di kursi kereta. Setibanya di tempat penginapan yang disediakan oleh peserta lomba dan pendamping, mereka bertiga langsung istirahat. Dikalahkan oleh lelah di H-1 perlombaan.

Pagi-pagi sekali mereka siap melangkah menuju SD Az-Zahra. Satu per satu peserta tampil mendongeng cerita islami hingga tiba gilirannya Syifa dan Raya. Penampilan mereka sangat membanggakan. Mila tak berhenti menyemangati dari kejauhan meskipun pikirannya menerawang jauh ke ujian seleksi beasiswa kuliah di Kairo besok. Ia bahkan tak sempat mengulang latihan soal-soal empat hari belakangan.  

Hari yang dinanti-nanti tiba. Bertepatan dengan ujian seleksi tulis dan lisan hari ini adalah pengumuman perlombaan mendongeng kemarin. Ia tinggalkan Syifa dan Raya mendengarkan pengumuman sementara ia mengikuti tes seleksi. Jauhnya jarak antara tempat penginapan dan lokasi tes tak menyurutkan langkah Mila untuk menggapai impian. Dalam lari-lari kecilnya, ia tak henti berdoa. Teringat wajah ayah, ibu, Kak Farid, Harun, Haris, Anin sekeluarga, dan muridnya di Rumah Belajar Ceria yang semakin mengobarkan semangatnya.

Beberapa menit sebelum tes tertulis dimulai, tubuh Mila seketika melemas. Tak ia temukan kacamata di dalam tas. Tak mengenakan kacamata selalu jadi momok terbesar baginya. Lupa ia mengambilnya dari meja dekat tempat tidur semalam. Hatinya tak tenang. Ia tahu rabun mata minus 3 tak dipermasalahkan dalam persyaratan. Namun, tanpa kacamata hitam kesayangan yang telah menemaninya 3 tahun ini, apakah ia mampu menjawab soal-soal dengan baik?

Ujian tulis yang berlangsung selama dua jam terasa beberapa menit saja. Mila pasrah. Ia tahu ia tidak mengerjakannya dengan maksimal. Dengan langkah gontai, ia keluar dari ruang ujian mengarah ke kantin menunggu daftar nama-nama yang lanjut ke tahap ujian lisan hari itu juga. “Mengapa bisa sampai lupa bawa kacamata? Apa saya tadi pagi terlalu antusias? Bukankah saya tadi masih bisa membaca soal-soal? Gagal pasal kacamata? Rasanya tidak masuk akal.” sesalnya.

Setengah jam menunggu, dua gelas air mineral telah diteguknya. Ia berlari kecil menuju kerumunan. Tak terbaca jelas tulisan di papan pengumuman. Peserta lain yang telah selesai mulai berbalik badan karena saatnya bergantian melihat pengumuman. Ada yang bersorak syukur, ada pula yang tertunduk lesu.

Tak ada ‘Kamila Ananda’ di antara nama peserta yang dinyatakan lolos ke tahap ujian lisan. Mila melihatnya sekali lagi sembari menyusuri barisan nama-nama menggunakan telunjuk tangan kanan. Tetap tak ditemukan. Bahunya semakin terbungkuk. Segera ia berbalik dari papan pengumuman meninggalkan kegagalan terbesar pertama di hidupnya. Dua anak  kecil tersenyum manis di hadapannya, Syifa dan Raya. Sejak kapan mereka ada di sana? Siapa yang mengantarnya sejauh ini dari tempat penginapan? Syifa membawakan sebuah kotak di tangannya. Kotak berisikan kacamata tak berguna yang Mila sebut sebagai penyebab kegagalannya. Di samping Syifa, Raya berdiri tegak membawa sebuah piala. Ia berhasil mendapatkan juara 2 pada lomba mendongeng tingkat anak SD. Mila memeluk erat kedua anak tersebut.

Kegagalan di suatu sisi justru membawa kemenangan di sisi lainnya. Mereka bertiga pulang dengan senyum membanggakan. Mila berjanji pada dirinya sendiri akan mengabdi pada Rumah Belajar Ceria yanga ia rintis bersama sahabatnya. Tahun depan ia akan mencoba kembali seleksi kuliah di Kairo. Jika ini memang bukan rezeki untuknya, semoga tabungannya sudah cukup, ia akan mendaftar kuliah Sabtu Minggu di Palembang agar tak mengganggu aktivitas mengajar. Perjuangan meraih mimpi belum usai baginya. 
***


Kacamata Mila (1)


Image result for eyes quote

Mila menatap secarik kertas memo merah muda bertuliskan ‘Al-Azhar University, Cairo’ yang melekat di dinding dekat tempat tidurnya. Bak mengeja huruf demi hurufnya, tak berkedip barang satu detik, Mila menuangkan lelahnya dalam lamunan, menatap jauh angan-angan. Ruangan riuh berisikan sepuluh pasang mata tak menjadi halangan. Saat teman-teman sekamar tengah sibuk mempersiapkan ujian, akhir-akhir ini, Mila justru kerap merenung. Pikirannya bukan tertuju pada butir-butir soal yang akan dikerjakan kelak, melainkan langkah yang harus diambil di depan.

“Ehm, ini kacamatamu.”.

“Oh, ya.”

“Kamu harus mengejanya dengan jelas. Huruf-huruf yang tertulis di kertas itu ibarat segala hal yang dibutuhkan untuk menggapai impianmu. Tak hanya persyaratan-persyaratan masuk ke sana, tetapi juga dukungan orang lain serta tak lupa kekuatan ikhtiar dan doamu.”

Ah, Anin memang satu-satunya teman sekamar yang pandai mengartikan diam Mila. Seperti nama musisi, payung teduh, begitu Mila menjulukinya. Wajah anggun dan tubuh jangkung Anin seakan melengkapi posisinya sebagai kakak perempuan bagi Mila.

“Ayah ibumu mengizinkan?” sambung Anin. Tak ia biarkan Mila hanyut dalam lamunan.

“Mereka pasti bangga kalau saya berhasil masuk melalui jalur beasiswa.”

“Selain berdoa untuk itu, teruslah doakan kesehatan ayah ibumu. Agar kelak tak perlu kamu risaukan apakah masa depanmu atau masa tua mereka yang harus diprioritaskan.”

Anin melempar senyum simpul lalu melarikan pandangannya ke buku PKN di tangannya. Mila tertegun mendengar ucapan sahabatnya tersebut. Ia tahu betul selama ini sahabatnya tersebut selalu dilanda perasaan ingin cepat pulang. Bapaknya tengah terhunus peralatan infus.

“Apa sebaiknya saya mengikuti jejak Anin? Tamat sekolah ini bekerja, mengajar anak-anak tetangga atau membantu orang tua dan saudara.” gumam Mila. Terbayang di benak rambut ayah yang kini bersulam uban. Belum lagi tatapan penuh harap ibu yang mengurus rumah. Giatnya Kak Farid menjalankan industri keripik rumahan. Keceriaan Harun dan Haris, adik kembarnya yang masih di jenjang awal sekolah.

Pikirannya berkecamuk. Buku pelajaran digenggamnya saja. Sekejap mata tersadar bahwa ia sebaiknya fokus dengan apa yang sedang dihadapinya. Ujian akhir sekolah. Ya, ujian. “Mana mungkin hanya memikirkan tanaman yang jauh sementara ada di depan mata yang harus dipupuk dan dijaga?” pikirnya.

***

Detik-detik menjelang ujian tak disia-siakan. Mila dan Anin berkutat dengan lembaran demi lembaran buku pelajaran. Kali ini tentunya lebih intensif. Entah pergi kemana perginya bayang-bayang kuliah di Kairo. Anin tak lagi mendapati Mila termangu dan berkeluh tentang angannya yang belum tampak tersebut. Bagaimanapun, Mila tetap menyimpannya baik-baik dalam doa. Hanya saja ia tak ingin berlebihan dalam mengumbar impian, terutama pada sahabatnya. Bukankah sahabat yang sedang dirundung kesedihan saat orang tua sakit menopang beban lebih berat daripada dirinya yang tengah dihantui mimpi besar?

Ujian hari pertama hingga terakhir dilalui tanpa hambatan. Senyum senang dan tawa lepas terpancar dari santri putra dan putri. Sholat zuhur dan ashar berjamaah dilaksanakan seperti biasa. Sujud syukur terasa khidmat dan doa agar lulus 100% pun terpanjatkan. Beberapa santri terlihat menuju telepon umum untuk melepas rindu dengan keluarga tercinta. Begitupun Mila dan Anin.

“Setengah jam lagi kita bertemu di sini ya!” pesan Mila sambil melangkah perlahan menjauhi Anin. Tak sabar ia ingin mendengar suara ayah, ibu, Kak Farid, serta si kembar dan bercerita tentang rencananya mengikuti seleksi beasiswa kuliah di Kairo. Diraihnya gagang telepon. Dibetulkannya kacamata sembari menatap kertas kopelan dimana tertera nomor telepon rumah. Digit angka ditekan satu per satu. Suara kakak menyambut dengan lembut.

Sepatah dua patah kalimat terucap. Sayangnya, ayah, ibu, dan adik tak di rumah sejak satu jam yang lalu. Melayat istri teman ayah di desa sebelah yang pagi tadi meninggal karena kecelakaan. Situasi ini kurang memungkinkan bagi Mila. Tak ada ayah ibu. Ia takut bercerita langsung kepada Kak Farid perihal kesungguhannya untuk mendaftar beasiswa kuliah di Al-Azhar. Bagaimana tidak, sekejap ia teringat saat-saat kelulusan MTs dulu. Kak Farid mulanya bersikeras ingin adik perempuan satu-satunya itu masuk ke SMA di dekat rumah saja agar tak luput dari pandangannya dan kedua orang tua. Di samping itu, ia berharap Mila bisa sambilan membantunya membuat dan menjual keripik. Saran dari ayah dan kemauan dari Mila sendiri untuk mondok tentu tak dapat ia bantah.  

“Pasti keripik Kakak makin enak deh. Kresss.. Kangen!”

“Keripiknya? Huu dasar kamu.”

“Ehmmm. Kak, kira-kira mereka masih lama tidak ya?”

“Kamu mau cerita ke ibu tentang rencana ke Kairo itu? Sudah tahu semua syarat dan pendaftarannya?”

Deg.. Mila semakin kalut mendengar pertanyaan beruntun kakaknya.

“I, iya. Masih menunggu pengumuman kelulusan dan ijazah, Kak.”

“Kamu ingat tidak waktu itu teman Kakak SMA, Amir, datang ke rumah kita?”

“Yang mau bawa keripik-keripik Kakak ke Jawa?”

“Ya, sekarang beliau sudah punya brand keripik sendiri yang cukup terkenal. Bahkan sudah tersebar di sini. Kesalahan kakak waktu itu tidak mau ambil peluang emas berbungkus risiko hanya karena sesuatu itu tidak bisa kakak awasi langsung. Dan kakak sekarang tidak mau itu terjadi lagi padamu yang sedang menata masa depanmu. Berjuanglah, Mil!”

“Kak Farid...”

“Sudah sore. Kita sambung lain kali ya.”

“Kak... Terima kasih ya. Assalamu’alaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Kekhawatiran Mila berubah menjadi keharuan. Ia merasa lega. Izin dan dukungan kakak sudah dikantonginya. Kacamatanya yang berdebu seakan tak menghalangi pancaran matanya melihat ke depan. Ia terus melangkah ke luar dengan riang. Sendunya senja kala itu justru baginya terang benderang. Dihampirinya Anin yang sudah menunggu sedari tadi. Nanti malam ia akan ceritakan semua pada sahabatnya tersebut. Ia pun tak sabar ingin dengar sahabatnya bercerita tentang keadaan bapaknya.

15 & 19 Mei. 

Mila ingat betul tanggal penutupan pendaftaran online dan pelaksanaan ujian seleksi beasiswa tersebut di luar kepala. Dilipatnya jari-jari tangan kanan perlahan menghitung berapa lama lagi waktu tersisa. 6 minggu takkan ia sia-siakan begitu saja. Sembari menunggu dan mempersiapkan semua persyaratan, Mila bersedia turut Anin untuk bantu-bantu mengajar di desa tempat keluarga Anin tinggal, Martapura. Kurang lebih 1 jam dari Baturaja, lokasi rumah orang tua Mila. 

***

Sunday 15 January 2017

[Self-reflection] 2016: A Year of Blessings



And if you should count the favors of Allah, you could not ennumerate them. Indeed, Allah is Forgiving and Merciful. (QS. An-Nahl (16):18)

We could make things into a list. Shopping list, expense list, invitation list, to-do list, friend list, place-to-visit list, and much more. But we CAN’T make and count a list of ALLAH’s favors and blessings.

Well, the year in calendar has numerically turned from 2016 to 2017. Yeah, no celebration, no special wishes. (Better to put wishes to daily prayers, right?). With fully charged laptop and a glass of water, the idea to write this self-reflection post suddenly came up as I tried to be more and more grateful of what ALLAH has given and how this life changed a lot. Also, I finally proved that “Time flies so fast. The great news is we are the pilot”. How's your 2016? Here's mine.

January: the Risk of Quitting a Job

People kept telling me that life would be so hard without fixed monthly income. At first, I thought so and had a bit confusion before deciding to resign in the end of December 2015. “Too risky” my brain whispered. Not to forget how much I love being a part of DBI and how Kak Andri and Yuk Gita, the managers, inspired me. There’s no excuse to forget the first time I learnt online marketing, a wonderful 4-day Malaysian trip in 2014, and the great impact of this job to my study and life, for sure. But, in the end, heart always wins. I took that risk. It’s time to take full control of what life was going to be. No idea what to do to pay all college needs ahead until graduation. I just know there’s always a way. Yeah, I believe that. Then, a 12-grade student, Putri, wanted me to give her private English lesson. I taught her from January till March. Also, there were opportunities from my dad and sister (I was helping their jobs). “See? All you needed to do was trying, and all the worries disappeared. You survived, right?”

February-April: The Life of a Final-year Student

In 2015, I couldn’t wait any longer to start writing my Skripsi after seeing my brother joyfully did his. The truth was once I began the first step in February 2016, I got a lot of headache. My hands and legs got stiff. No one told me that the life of a final-year student would be this challenging and boring, huh? Spending most of the weekdays in campus, waiting for advisers, reading references, discussing with friends, or just sitting around. I know I wasn’t the only one doing this. I know it's going to be worth it in the end. Well, college life sucks if we think so. Thus, why don’t we think it is precious? There’s so much beauty behind the hardship. Every final-year student, including me, is growing much stronger and wiser. This phase of life gave us strength to keep moving and holding on to what we've started. 

May-June: Sensus Ekonomi 2016

“Can I be like an amoeba, splitting into two, so I could handle both skripsi and SE2016?”. Well, in these two months, I focused more on my job as a field supervisor (PML/Pemeriksa Lapangan) of Sensus Ekonomi 2016, forgetting my Skripsi for a while. That was my very first experience in census. And yeah, I had trouble with statistics. Thanks, God, I thought wrong. Being a census worker had nothing to do with all those mean, median, mode, standard deviation, and everything I learned in Statistics class. Lucky me for taking this opportunity. Despite being a supervisor, I chose to be a part of census taker who did door-to-door (direct) interview to meet respondents. Meeting a lot of new people (whether they were fellow census workers, employees and head of BPS, and respondents) was my first favorite thing about SE2016. Interviewing the respondents was second. By doing so, I could see the unseen, hear the unheard, and touch the untouched. People with various characteristics from low to high income, small business to large companies, or small to big houses had something in common: hope. They really hoped that Sensus Ekonomi 2016 was the bridge between them and policymakers. The bridge to guide the government in making policies and improve the economic sector.

In May, I had a field work as census supervisor, but in June, I worked in the BPS office as a document editor and coder. All the hard work was surely paid off. Apart from the wage which was enough for my graduation needs, I got some lessons. Becoming a census worker taught me about accuracy, honesty, perseverance, and openness.

July: Thesis Examination

Three weeks after Idul Fitri, I (finally) was eligible to take examination for my skripsi That was exciting and disconcerting at the same time. There’s no more word coud describe how happy I was at that moment for being in the final phase of college. My advisers were sooo kind and understanding despite all my bad. I couldn’t thank them enough for guiding, advising, and helping me in doing my study. For me, the lessons learned during the process to reach this phase were much more important than the GPA and compliments. Staying late at night or looking busy doesn’t always mean working hard. Working hard doesn’t always means doing someting effectively. I spent days and nights doing my task, but the fact that I was among the five students who had to retake the exam. I knew that was my responsibility, so I had to get through it, no matter what. And, the most important lesson was as my examiner told me, “Your skill or your competence is not enough to succeed, your sincerity is what does matter.”

August-September:  The Graduation Euphoria

If I could pick my favorite month in 2016, there would be two; August and September. Yash, graduation!! Indeed, the graduation euphoria didn’t last forever. We’re just becoming the happiest people on the earth for just some hours. Above all, I loved to see the smiles on every parents’ face during Yudisium and Wisuda. I loved to be around friends who had been there with me since the beginning. I loved to prove to myself that God’s timing is always perfect. I loved to see the fact that unconditional support and guidance from all college authorities, especially lecturers, really meant for us. Well, once the euphoria was over, countless questions turned out all over my head. What should I do next? Which path should be taken? Should I go out of this place? Most of my friends had already worked at school, should I do the same? Thinking/planning about the future makes me as excited as I was during graduation party.

October: The Life of a Job-seeker

People started being so attentive to fresh graduates. Everyone was like, “What are you doing?”, “Where do you work?”, “Have you tried applying to this and that?”, “Why don’t you do this and that?”. That’s life. The life of a job-seeker. I even got more, like “Too bad you quit your job!”, “If only you’re still working, Ga”. Well, the answer of all those questions was just how it’s supposed to be. They just don’t know what someone they question about had been through. A  number of job applications had been sent to local private schools. Some others were going out of the city. Yes, I planned to leave the hometown if only I got an interview call. Day by day waiting for something, but nothing happened. I didn’t belong to any of the places I was applying to, let alone the local schools/institutions. In other hand, while applying for a job, some opportunities were actually coming (Alhamdulillah). I didn’t take any because I just need to focus on who I want to be. 
  
November: Officially self-employed!

So, who do I want to be? I simply wrote “be self –employed” in my 2016’s wishlist. As a matter of fact, the only thing that sounds simple is just its word. It didn’t happen until early November. Lucky me for having highly passionate sister and parents with their never ending support. November 28 was my first time promoting Seblak on BBM and Facebook. I started Waroeng Seblak Riga. Friends and family started placing an order. Some took the orders at home while some others needed our delivery service. I have been doing the same daily activities for almost two months: grocery shopping, cooking and preparing, and delivering Seblak. That’s enjoyable! Meeting more new people, learning to communicate effectively, shaping ourselves to be disciplined, beating the procrastination. Being in this business turned me from a girl who can  make fried noodles only into a enthusiastic cook. Also, working for our very own self means that we’re taking the risk and becoming a friend of uncertainty. No monthly income, just daily revenue. No boss, just myself and family. Indeed, a dream must keep developing, right? ;) I am truly committed to what I am doing right now and making sure that my daily action gets me closer to my big dream in this business.

December: Volunteering with SOSB OKU

I always remind myself that whoever I am and whatever I am doing, I’ll take part to give contribution to the education in Indonesia. Volunteering with SOSB OKU was the first milestone. It was the most priceless learning moment. SOSB (Satu Orang Satu Buku) is a community that concerns on donating books and teaching elementary students in a remote area, specifically OKU, South Sumatera. I joined the third event called Teaching and Sharing 3 as a volunteer in which we were going to Desa Sadau Jaya Kec. Sungai Are Kab. OKUS. We stayed there for one night and two days with no proper network and electricity. Well, we felt relieved enough after the survey team said that it took only around 6-7 hours to get there. In fact, we hadn’t even reached the place after 10 hours due to vehicle issues and damaged road. Another thing that surprised us that there’s no other school except the one we’re heading to. The school with only three classrooms, 30 students, and 1 student in the second grade. The school location was on the top of the hill with amazing view all around. That was a gift for us. The children’s smiles were actually the greatest gift we could get after all this exhaustion.

Oh, hello, 2017! Better things are coming! The only way to achieve them is to be better or do better. We deserve what we truly deserve, right? No need to count down the days for something because the most important thing is to make each day, each moment count!

And for every nation is a [specified] term. So when their time has come, they will not remain behind an hour, nor will they precede it. (QS. Al-A’raf (7):34)


Friday 25 November 2016

It’s okay to be inconsistent


Five years ago, I registered in a school of health science, wondering how it felt to be a nurse and believing I could be one. And now, here I am with a degree in English Education.

Four years ago, I thought that getting the salary means we no longer bothered our parents. In fact, mom still cooks for me and dad still picks me up.

Three years ago, I thought it was enough to focus on my study to graduate cumlaude. Nowadays, I am starving for more and more knowledge that’s not related to my major.

Two years ago, I strongly agreed with “too many books, too little time”. This year? I spent most of the time reading books. Any kind of books. I might not go one day without it.

Well, it’s okay to be inconsistent sometimes. It is a part of making progress. We are changing. We could never be the same person all the time. We might not think the same way we did yesterday and we will do tomorrow. We could behave differently at times. Embrace all those good changes and lift up yourself to avoid bad changes.

When you do something bad, you always have the chance to do good.
Once you do good, you can do better.
Once it's better, why not try even greater?

Keep making progress.


Iga Barika Roza


Sunday 30 October 2016

Menilik Kisah Cinta Bung Karno di Bengkulu




Tepat 10 bulan yang lalu, 30 Desember 2015, pertama kalinya kaki ini menginjakkan tanah Bengkulu, khususnya Rumah Pengasingan Bung Karno. Kurang lebih 1,5 jam di sana, deretan gambar-gambar diri bernarsis ria di depan bangunan dan barang-barang peninggalan telah memenuhi rol kamera. Rak buku, tempat tidur, sepeda ontel, dan koleksi foto menjadi spot sasaran. 

Dua bulan pasca perjalanan ke Bengkulu, saat tengah haus bacaan setelah pusing mencari bahan referensi skripsi, ku raih buku bersampul merah dengan gambar Bung Karno yang sudah lama tertumpuk di rak. "Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia". 

Buku karangan Cindy Adams tersebut menggambarkan jelas cerita cinta manis pahit Putra Sang Fajar di Bengkulu. Cerita yang belum pernah ku dapat sekalipun pernah berkunjung langsung ke sana.

Ranjang putih sederhana Bung Karno dan Ibu Inggit di rumah pengasingan bak menggambarkan keromantisan yang bersahaja. Padahal, kisah cinta keduanya hendak menemukan ujung di Bumi Raflesia ini.

Hawa mencurigakan terbaca oleh Ibu Inggit melihat kedekatan sang suami dengan Fatmawati, anak asuh mereka yang masih sangat belia. Kesetiaan Ibu Inggit menemani suaminya kala suka duka bahkan selama di Banceuy, Sukamiskin, hingga Ende berujung pilu. Ketabahan Ibu Inggit teruji. Awalnya Bung Karno tak bermaksud menceraikan, tapi Ibu Inggit menolak dimadu. Ia lebih memilih bercerai dan kembali ke Bandung.

Nama Ibu Fatmawati tak pelak sangat melekat di Bengkulu. Adalah rumah, jalan, hingga bandara bernamakan dirinya. Di Rumah Pengasingan Bung Karno, pun terpajang gambar beliau. Sang penjahit bendera pusaka ini dulu merupakan salah satu murid Bung Karno di Sekolah Muhammadiyah Bengkulu yang dikepalai oleh ayahnya, Bapak Hassan Din. Ia adalah perempuan yang sederhana dan cerdas.

Benih-benih cinta tumbuh sejak keduanya sering berbincang bersama. Pancaran tatapan di antara mereka lebih dari sekedar guru dan murid atau ayah dan anak. Saat Bung Karno menyatakan perasaan cinta, Ibu Fatmawati tidak terima jika beliau belum menceraikan istrinya. Setelah  Bung Karno resmi bercerai dengan Ibu Inggit, mereka menikah dan mendapatkan keturunan.

Membaca kisah cinta antara Ibu Inggit-Bung Karno-Ibu Fatmawati di Bengkulu membuat diri belajar banyak hal. Ketabahan dan kesetiaan Ibu Inggit. Ketegasan dan kecerdasan Ibu Fatmawati. Perjuangan dan sisi manusiawi Bung Karno di masa-masa pengasingan.