Friday 11 May 2018

Kacamata Mila (2)

Image result for glasses quote


Sejak ikut Anin, dunia baru Mila sangat menyenangkan. Ia berbagi tugas dengan Anin mengelola bekas garasi yang telah disulap menjadi taman baca sekaligus tempat belajar. Rumah Belajar Ceria, begitu mereka menyebutnya. Sepulang sekolah beberapa anak-anak SD dan SMP berkumpul di sana untuk belajar dan bermain bersama. Hari Minggu bahkan tetap dipenuhi anak-anak. Mila senang bisa mengajar mereka mengaji. Di beberapa kesempatan kedua sahabat tersebut mendongeng, bermain games tradisional, membantu mengajarkan PR dari sekolah, dan mengajar bahasa Inggris. Ya, begitulah kegiatan sehari-hari Mila dan Anin.

Mila juga menitipkan keripik pisang berbagai varian rasa buatan kakaknya di warung, toko, dan minimarket terdekat untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Meski uang yang diperoleh tak seberapa, namun oa bahagia bisa mengisi waktu dengan hal-hal positif dan produktif. Uang yang didapat sebagian besar dipergunakan untuk menambah buku-buku dan membenahi rumah belajar yang mereka dirikan. Terlepas dari itu, Anin memang harus bekerja keras untuk biaya perawatan dan obat ayahnya. Sementara, Mila mempersiapkan bekal untuk kuliah dan membantu orang tua pula. Merasa merepotkan sahabatnya, Mila tak kalah giat bekerja agar sebagian penghasilannya dapat diberikan ke Bu Nunik, ibunya Anin yang ia anggap seperti ibunya sendiri.

Melihat keceriaan anak-anak membuat Mila saban hari lupa akan tujuan utamanya. Beruntungnya ia mempunyai sahabat dan keluarga yang tak lelah mengingatkan. Di sela-sela waktu senggang, Mila belajar latihan soal-soal ujian seleksi yang ia dapat dari kakak kelas dan internet. Tak terasa dua minggu telah dilaluinya berkutat dengan seabrek aktivitas mengelola rumah belajar dan mempelajari soal-soal tes seleksi. Kesuksesan masa depan memang belum tampak, tapi ia yakin pada keikhlasan dan kesungguhan yang diwujudkan dalam kerja keras. Sungguh hari-hari yang melelahkan justru mengukir senyuman di wajahnya dan sahabatnya tersebut.

“Lomba mendongeng, Rabu, 18 Mei 2016, SD Az-Zahra Palembang. Kita punya waktu kurang lebih dua minggu lagi untuk melatih mereka yang ingin ikut.” Anin menutup selebaran di tangannya.

“Hmm, sehari sebelum tes seleksi.” Mila menjawab singkat.

“Wah, hampir saja saya lupa. Kamu sebaiknya fokus ke ujian seleksi beasiswa, Mil. Sudah, tak usah pusingkan masalah persiapan lomba. Eh, tunggu dulu. Menurutmu, Syifa atau Raya yang ikut lomba?”
“Keduanya bersedia ikut? Mengapa tidak semuanya saja?”

“Repot, Mil. Tidak mudah melatih satu anak supaya tampil maksimal.”

“Aku Syifa, Kamu Raya, deal? Mulai besok kita latihan.”

“Mil....”

“Janji deh, aku belajarnya pagi atau malam.”

Mila merangkul sahabatnya tersebut. Sahabat yang telah banyak berjasa kepadanya. Sahabat yang telah mengajarkannya banyak hal. Sahabat yang telah membawanya ke dunia baru yang penuh tantangan. Kini mereka berdua berjuang bersama, mengemban tugas sederhana nan bermakna menuju cita-cita diri dan anak bangsa.

Suasana Rumah Belajar Ceria tak berbeda dari biasanya. Diramaikan oleh anak-anak yang sekedar ingin membaca buku atau mengikuti kegiatan belajar mengaji dan bahasa Inggris. Hanya saja kini Mila dan Anin disibukkan pula dengan melatih dua anak yang akan mengikuti perlombaan mendongeng cerita islami. Tak semudah yang dibayangkan terlebih bagi dua remaja beranjak dewasa yang baru tamat sekolah seperti mereka.

Dua sahabat tersebut mengerahkan tenaga, waktu, dan pikiran mengajar peserta didik mereka khususnya yang akan mengikuti lomba. Mila pernah menjuarai lomba mendongeng sewaktu duduk di bangku MTs, jadi ia tak segan membagikan pengetahuan dan pengalaman agar Syifa dan Raya mendapatkan kemenangan yang serupa. Kendatipun demikian, di sela-sela latihan Mila selalu menanamkan bahwasanya kemenangan hanya sebuah bonus. Yang terpenting berusaha melakukan yang terbaik dan menggunakan potensi diri sebaik-baiknya.

***

Apa hendak dikata, empat hari sebelum perlombaan, Anin mendapati bapaknya dalam keadaan terbaring lemah. Beliau harus dibawa ke rumah sakit lagi. Kondisi tubuhnya semakin memburuk. Tak bernafsu makan, tak menyahut saat diajak berbicara, tak banyak bergerak. Sungguh ini di luar dugaan. Padahal, dua minggu yang lalu beliau sudah cukup membaik. Alhasil, keberangkatan ke Palembang mesti dipertimbangkan. Anin tak mungkin meninggalkan bapaknya bersama ibu dan adik yang masih kecil begitu saja.  Sepanjang hari ia menangis saja. Tak putus ia berdoa agar bapak kembali sehat seperti sedia kala.

Mila turut merasa pilu melihat kesedihan Anin. Seakan memburam penglihatannya.   Akhirnya ia putuskan saja untuk berangkat tanpa sahabatnya. Mendampingi adik-adik yang akan mengikuti lomba sekaligus mengikuti ujian seleksi beasiswa kuliah di Kairo. Dua impian yang tengah ia perjuangkan sudah di depan mata.

Wajah ceria dan semangat berkobar ia pamerkan di hadapan sahabatnya walau pikiran berkecamuk dan hati bergejolak. Bagaimanapun, tak ada pilihan baginya kecuali hadapi. Kereta telah tiba, koper telah diangkut, ucapan pamit telah tersampaikan, bahu siap disandarkan di kursi kereta. Setibanya di tempat penginapan yang disediakan oleh peserta lomba dan pendamping, mereka bertiga langsung istirahat. Dikalahkan oleh lelah di H-1 perlombaan.

Pagi-pagi sekali mereka siap melangkah menuju SD Az-Zahra. Satu per satu peserta tampil mendongeng cerita islami hingga tiba gilirannya Syifa dan Raya. Penampilan mereka sangat membanggakan. Mila tak berhenti menyemangati dari kejauhan meskipun pikirannya menerawang jauh ke ujian seleksi beasiswa kuliah di Kairo besok. Ia bahkan tak sempat mengulang latihan soal-soal empat hari belakangan.  

Hari yang dinanti-nanti tiba. Bertepatan dengan ujian seleksi tulis dan lisan hari ini adalah pengumuman perlombaan mendongeng kemarin. Ia tinggalkan Syifa dan Raya mendengarkan pengumuman sementara ia mengikuti tes seleksi. Jauhnya jarak antara tempat penginapan dan lokasi tes tak menyurutkan langkah Mila untuk menggapai impian. Dalam lari-lari kecilnya, ia tak henti berdoa. Teringat wajah ayah, ibu, Kak Farid, Harun, Haris, Anin sekeluarga, dan muridnya di Rumah Belajar Ceria yang semakin mengobarkan semangatnya.

Beberapa menit sebelum tes tertulis dimulai, tubuh Mila seketika melemas. Tak ia temukan kacamata di dalam tas. Tak mengenakan kacamata selalu jadi momok terbesar baginya. Lupa ia mengambilnya dari meja dekat tempat tidur semalam. Hatinya tak tenang. Ia tahu rabun mata minus 3 tak dipermasalahkan dalam persyaratan. Namun, tanpa kacamata hitam kesayangan yang telah menemaninya 3 tahun ini, apakah ia mampu menjawab soal-soal dengan baik?

Ujian tulis yang berlangsung selama dua jam terasa beberapa menit saja. Mila pasrah. Ia tahu ia tidak mengerjakannya dengan maksimal. Dengan langkah gontai, ia keluar dari ruang ujian mengarah ke kantin menunggu daftar nama-nama yang lanjut ke tahap ujian lisan hari itu juga. “Mengapa bisa sampai lupa bawa kacamata? Apa saya tadi pagi terlalu antusias? Bukankah saya tadi masih bisa membaca soal-soal? Gagal pasal kacamata? Rasanya tidak masuk akal.” sesalnya.

Setengah jam menunggu, dua gelas air mineral telah diteguknya. Ia berlari kecil menuju kerumunan. Tak terbaca jelas tulisan di papan pengumuman. Peserta lain yang telah selesai mulai berbalik badan karena saatnya bergantian melihat pengumuman. Ada yang bersorak syukur, ada pula yang tertunduk lesu.

Tak ada ‘Kamila Ananda’ di antara nama peserta yang dinyatakan lolos ke tahap ujian lisan. Mila melihatnya sekali lagi sembari menyusuri barisan nama-nama menggunakan telunjuk tangan kanan. Tetap tak ditemukan. Bahunya semakin terbungkuk. Segera ia berbalik dari papan pengumuman meninggalkan kegagalan terbesar pertama di hidupnya. Dua anak  kecil tersenyum manis di hadapannya, Syifa dan Raya. Sejak kapan mereka ada di sana? Siapa yang mengantarnya sejauh ini dari tempat penginapan? Syifa membawakan sebuah kotak di tangannya. Kotak berisikan kacamata tak berguna yang Mila sebut sebagai penyebab kegagalannya. Di samping Syifa, Raya berdiri tegak membawa sebuah piala. Ia berhasil mendapatkan juara 2 pada lomba mendongeng tingkat anak SD. Mila memeluk erat kedua anak tersebut.

Kegagalan di suatu sisi justru membawa kemenangan di sisi lainnya. Mereka bertiga pulang dengan senyum membanggakan. Mila berjanji pada dirinya sendiri akan mengabdi pada Rumah Belajar Ceria yanga ia rintis bersama sahabatnya. Tahun depan ia akan mencoba kembali seleksi kuliah di Kairo. Jika ini memang bukan rezeki untuknya, semoga tabungannya sudah cukup, ia akan mendaftar kuliah Sabtu Minggu di Palembang agar tak mengganggu aktivitas mengajar. Perjuangan meraih mimpi belum usai baginya. 
***


0 comments:

Post a Comment